Saturday, December 31, 2011

Para Fuqaha Mantan Budak

Dengarkanlah keajaiban yang pernah ditorehkan para budak. sejarah pernah mencatatkan dengan tinta emas tentang cita-cita mulia mereka; menjadi Fuqaha' pada masanya pada saat banyak orang-orang merdeka yang tidak bisa melampaui kedudukan mereka. "Ilmu benar-benar bisa membuat pemiliknya menjadi mulia, di mata Allah dan juga manusia."

Dalam salah satu karyanya, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Manna’ al-Qatthan menyebutkan satu kisah menarik yang beliau nukil dari al-Iqdu al-Farid. Kisah itu berupa percakapan antara Ibnu Abi Laila dengan Isa bin Musa yang pada saat itu menjadi gubernur bani Abbasiyah yang memilik ta’ashub tinggi.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila, “Isa bin Musa pernah bertanya kepadaku, “Siapa ahli fikih di Bashrah ?”
“Hasan bin Abil Hasan”
“Kemudian siapa ?”
“Muhammad bin Sirin”
“Siapa dia ?”
“Ia seorang mantan budak.”
“Kalau ahli fikih di Mekah ?”
“Atha’ bin Abi Rabah, Mujahid, Said bin Jubair dan Sulaiman bin Yasar”
“Siapa mereka ?”
“Mereka pun juga berstatus mantan budak”
“Terus, siapa ahli fikih di Madinah ?”
“Zaid bin Aslam, Muhammad bin Munkadir dan Nafi’ bin Abi Najih”
“Siapa mereka ?”
“Mereka, lagi-lagi juga mantan budak”, tiba-tiba raut muka Isa bin Musa berubah. Ia tidak senang dengan semua jawaban yang ada, masa’ yang menjadi ahli fikih di Bashrah, Mekah dan Madinah adalah mantan budak semua.
Ia kembali bertanya, “Siapa penduduk Kuba’ yang paling fakih ?”
“Rabi’ah ar-Ra’yi dan Ibnu Abi Zanad”
“Siapa mereka ?”
“Mereka adalah mantan budak”, lalu Isa bin Musa semakin bermuka masam, cemberut.
“Lalu siapa ahli fikih di Yaman ?”
“Thawus, putranya dan Ibnu Munabbih”
“Siapa mereka ?”
“Mereka juga dari kalangan mantan budak” lalu muka Isa memerah padam dan ia pun terduduk lemas. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya yang menjadi fuqoha adalah sekumpulan mantan budak.
Tidak puas, Isa bin Musa bertanya lagi, “Lalu lalu, siapa ahli fikih di Khurasan ?”
“Atha’ bin Abi Rabah ?”
“Siapa itu Atha’ ?”
“Dia juga mantan budak” setelah mendengar jawabanku, wajahnya bertambah memerah. Malu. Dan semakin hitam saja wajah yang sudah hitam itu sehingga aku khawatir kalau ia akan marah menghabisiku.
Belum jera juga, ia kemudian bertanya, “Siapa ahli fikih di Syam ?”
“Makhul”
“Siapa itu Makhul”
“Dia juga mantan budak, tuan” Ia bernafas seperti orang yang pening. Sungguh pening. Tak disangka. Seribu kali tidak pernah terdetik dalam benaknya, mantan para budak pada saat itu mendominasi keilmuan dan fikih.
Ternyata ia masih belum jera bertanya yang itu-itu saja. Kali ini ia bertanya, “Siapa ahli fikih di Kufah ?”
Ibnu Abi Laila melanjutkan kisahnya, “Demi Allah, kalau aku tidak menghawatirkan keselamatan diriku, akan aku jawab, “Hakam bin Utbah dan Hammad bin Sulaiman di mana keduanya adalah dari kalangan budak” tapi karena aku melihat ada gelagat tidak baik yang akan terjadi bila aku menjawab demikian, maka aku menjawab, “Ibrahim an-Nakha’I dan asy-Sya’bi”
“Siapa mereka berdua ?”
“Mereka berdua adalah orang arab”
“Allahu Akbar !” teriak Isa dengan lantang, dan hatinya pun menjadi tenang. Ia tersenyum penuh kemenangan. “Allahu Akbar !”

Kisah diatas diadaptasikan dari kitab, “Tarikh Tasyri’ al-Islamy” karya Manna’ al-Qatthan, halaman : 268.

0 comments:

Post a Comment