Friday, November 25, 2011

Wahai Para Dokter Bagaimana Akhlakmu….??


Beaya kuliah seorang dokter,..
Anda akan tercengang kaget jika mengetahui tentang berapa beaya yang harus dikeluarkan oleh seorang mahasiswa untuk dapat kuliah di Fakultas Kedokteran Umum (FKU), lebih-lebih di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) saat ini. Beaya masuk FKU di sebuah PTS di Jogja saja bisa mencapai 200jt, belum kebutuhan lanjutan dan lainya sampai lulus. Otomatis  anak dari ekonomi kurang mampu akan sulit masuk FKU. (kecuali yang berprestasi dan mendapat beasiswa)
Nampaknya beaya kuliah inilah yang ikut andil membentuk karakter materialis seorang dokter. Modalnya besar dapetnya pun harus lebih besar,…
Mahasiswa KU banyak yang bermobil, tentenganya BB dan gaya hidupnya sangat borju. Kecuali sedikit saja dari mereka yang berkarakter baik, dan aktif ngaji.  Bagaimana kelak karakter mereka jika ia telah betul-betul  jadi dokter,…??

Mereka sangat dimanja,…
Sistem promosi yang diterapkan oleh pabrik Farmasi (Detailer/duta pabrik) saat ini, sungguh sangat berpeluang untuk merusak akhlak dokter, para medis dan bagian pembelian (Key Person pengadaan barang). Mereka kerap memberikan fasilitas tertentu, semacam tiket pesawat, fasilitas hotel, uang cash, bahkan apa saja yang dianggap sebagai “need & want “, dalam rangka memuluskan jalan agar produk mereka terpakai dan laku. Mereka sangat dimanja oleh entertain dan servis dari tim promosi perusahaan obat,..

Dalam hal ini pernah ditanyakan kepada DR. Arifin Badri, MA (Pakar Fiqh Kontemporer, Dosen STAI Jember) tentang permasalahan ini,  Beliau mengutarakan :
“ Jika seorang dokter yang bekerja di sebuah RS telah mendapatkan gaji dari pihak RS maka ia tidak berhak menerima sejumlah uang sepeser pun atau fasilitas apapun dalam kaitanya masih dengan pekerjaannya tersebut di luar dari gaji yang telah ia terima.

Akan berbeda jika seorang dokter yang langsung membeli obat untuk keperluan praktek pribadinya di rumah (dispensing) kepada detailer/sales  kemudian mendapatkan fasilitas diskon, maka ini boleh.
Itulah yang dinamakan Riswah (Suap). Dan hendaknya seorang Dokter Muslim harus memastikan bahwa penerimaanya adalah halal “
Dan dokter adalah manusia, mereka pun satu persatu berguguran karena telah diuji dengan kenikmatan dan keenakan hidup yang mereka dapatkan.
Dokter ahli bedah tulang di sebuah RS besar kota Jogja pernah berujar kepada bahwa , “ Peran seorang sales promosi pabrik besar farmasi (PBF) dalam hal ini detailer sungguh sering merusak akhlak seorang dokter, betapa tidak ia selalu di iming-imingi sejumlah uang, dll. Idealismenya telah terbeli, sumpah dokternya telah dilupakan”.
Ia pun menambahkan, “ Semenjak residen hingga sekarang saya tidak pernah menerima serupiahpun uang dari detailer, dan berapa sih yang diberikan mereka ? ” Sangat tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Andai semua dokter berprinsip demikian, sungguh gambar dunia medis kita tidak sesuram ini.

Obat Generik Versus Paten,…
Dalam sebuah rapat bersama Ferry Sutikno, MBA (pemilik pabrik farmasi), dalam rapat tersebut ada yang bertanya kepada beliau,
“ Pak Ferry, sebenarnya obat generik dan paten kualitasnya sama atau tidak?
Beliau berkata, “ Jawabnya adalah sama, secara farmako kinetik dan dinamik. Jadi yang membedakannya hanyalah packingnya, finishingnya. Dan satu lagi “ harganya” .
Kenapa bisa beda harganya? Ya karena sistem promosinya yg bereda.  Jadi obat paten menjadi mahal karena pabrik farmasi mengalokasikan beaya promosi yg sangat besar.
Disinilah sumber masalahnya, ketika seorang dokter telah memakai fasilitas promosi dari pabrik maka ia harus tertuntut untuk melariskan obat tertentu walaupun kadang harganya mahal. Pat gulipat, dan pasien yang sakitlah yang menjadi tumbalnya. Wallohul Musta’an.
Sebuah data penjualan produk antibiotik (OGB) generik suatu perusahaan di semester 1 th 2011 nasional hanya mencapai angka Rp. 4 M, tetapi justru produk paten antibiotik tertentu, justru mampu menembus angka Rp. 10 M. Padahal kedua preparat tersebut secara kualitas ” Tidak Berbeda Bermakna “ alias setara, dan harganya jelas jauh lebih mahal yang paten bisa 3 sampai 4 kali lipatnya.
Tapi mengapa user (dalam hal ini dokter, paramedis, dan apoteker kita) justru lebih banyak memberikan yg paten kepada pihak konsumen ? (dalam hal ini pasien, orang yang sakit dan orang yg sedang terkena musibah)

Kenapa hal ini bisa terjadi?
Dan mengapa pihak yang terkait dengan dunia medis tidak faham atau pura-pura tidak mengerti? ajib super ajib….
Disinilah seorang dokter, paramedis dan siapapun yg terlibat di dalamnya sangat perlu untuk  belajar agama dan berhias diri dengan akhlak Islami agar bisa istiqomah berpegang pada prinsip. Serta merasa cukup dengan yang halal saja.

Semoga bermanfaat.
Dari Keprihatinan Seorang Teman
(Penjaga toko muslim ihya’)

0 comments:

Post a Comment