Tuesday, November 22, 2011

Virus RIBA MenCengkeram Umat dan Bank Syariah


Sesungguhnya orang yang memperhatikan realita kondisi kaum muslimin pada saat ini, maka dia akan mendapati bahwasanya masih banyak di antara mereka yang meremehkan atau menggampangkan masalah riba, entah dengan memakannya, menjadi praktisi, menentukan hukum, mengambil pinjaman,menjadi saksi, penjamin, penulis, penganjur, pendorong atau pun pambantu dalam proses riba. Baik Riba yang dilakukan instansi resmi, Bank, BPR, Koperasi, Leasing, Toko-toko yang melayani kredit berbunga, Rentenir dan sebagainya, rasanya hampir semua kebutuhan manusia bisa kena Riba, jika kita tidak hati-hati.

Seakan-akan urusan riba ini adalah merupakan satu kebolehan atau paling-paling merupakan hal yang makruh, atau hanya sebuah kemaksiatan kecil saja. Mereka tidak tahu bahwa itu termasuk perbuatan dosa besar yang Allah telah megumandangkan perang kepada para pelakunya di dunia dan akhirat, AIlah juga mengancam mereka dengan api neraka pada saat hari penghimpunan di hadapan-Nya.

 
Dan yang lebih disayangkan lagi adalah, anda melihat bahwa banyak dari mereka, baik tua atau muda bahkan para wanita yang penampilan mereka mencerminkan orang yang iltizam (konsisten) dengan ajaran Islam, berjilbab rapi, atau baju koko plus kopiah, namun tetap saja mereka terlibat dalam dosa besar ini, menganggap remeh hal tersebut dan bahkan mungkin berlomba-lomba menuju sana. Maka akhirnya mereka terbelenggu oleh RIBA yang tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah, sebagaimana mereka juga telah terbelenggu dengan kemarahan Allah aljabbar, dengan laknatnya, dan kelak terbelenggu dengan siksanya jika mereka tidak mau bertaubat lalu taubatnya diterima oleh Allah.
Definisi RIBA..?
Ditinjau dari ilmu bahasa Arab, riba mempunyai makna, tmabhan, tumbuh dan menjadi tinggi (AlQamus Muhith)
Sedangkan arti secara syariat, banyak sekali didefinisikan oleh para Ulama, tapi definisi yang lengkap adalah; suatu akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaanya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad atau salahsatunya.(Mughni Muhtaj oleh Asy-Syarbini 2/21)

Hukum Riba..??
Jawab : Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati. Berdasarkan keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits shahih yang-nyata mengharamkan riba. Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya omng yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan. mereka berkata (berpendapat),sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. A1-Baqarah: 275)
Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya ia menuturkan,
لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: (هم سواء). رواه مسلم
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.”(HR. Muslim).


Dampak Riba yang Begitu Mengerikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali. (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobihmengatakan bahwa hadits ini shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)
Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

TANYA-JAWAB SEPUTAR PERBANKAN

1.Bolehkah meminjam uang di Bank Konvesional karena alasan darurat..??
Jawab, Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Anggapan darurat Ini adalah tidak benar, karena paksaan atau kondisi darurat adalah jika seseorang akan kehilangan kehidupannya atau dia akan mati kelaparan dan tidak bisa tidak, atau dia memang tidak mempunyai jalan keluar lagi kecuali dengan malakukan sesuatu yang terpaksa tadi. Kondisi tersebut sama sekali tidak ada dalam realita saat ini, maka bagaimanakah kita bisa menipu diri sendiri dan mengaku dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Ingatlah, mari kita bertakwa kepada Allah, dan hendaknya kita tahu bahwa keselamatan dalam soal agama lebih didahulukan daripada harta dunia, dan perlu kita ketahui bahwa itu semua adalah ujian dari Allah, apakah kita akan mengedepakan keridhaan Allah atau keridhaan diri sendiri, hawa nafsu dan harta kita.
Ingatlah, mari segera kita kumandangkan, bahwa: “Memakan sepotong roti dengan minyak,serta tinggal di gubug (tenda) dalam kehalalan lebih kita cintai daripada memakan madu dan tinggal di dalam rumah yang megah tetapi haram.”

2.Apakah bekerja di bank-bank itu hukumnya haram, dan segala permasalahan terkait dengan karyawan juga haram?
Jawab:
Sesungguhnya bekerja di bank yang memberlakukan sistim riba adalah haram, sebab pegawai yang bekerja di sana baik itu penulis rekening ribawi, ataupun yang menyerahkan uang ditempat yang menjalankan riba, atau orang yang menerimanya, pembawanya, yang mengantarkan berkas-berkasnya dari kantor ke tempat lain atau dari satu tempat ke tempat lainnya, ataupun pembantu urusan pekerjaan mereka yang mendukung kelancaran pekerjaan di bank dan semisal itu maka mereka semua dalam pekerjaan yang haram, baik terlibat langsung maupun tidak langsung. Dan apa yang yang didapat oleh para pekerja dengan usaha itu dan dengan malaksanakan pekerjaan tersebut adalah HARAM termasuk upah atau penghasilan yang haram.
Ini sungguh berbahaya sekali, RIBA bisa mengenai semua apakah dia orang baik, maupun jahat. Dari Direktur, Teller, Satpam, Office Boy, Catering yang menyediakan makan pegawainya, Programmer yang menjual softwarenya ke Institusi/Lembaga Riba, dan siapapun yang mendapat upah atau keuntungan bertransaksi dengan lembaga riba. Bisa dibayangkan berapa juta umat islam yang jatuh kedalam belitan DOSA RIBA…naudzubillah min dzalik, lebih celaka lagi sudah berdosa besar malah bangga bisa jadi pegawai BANK.


3.Apa hukum dalam Islam tentang mengambil hutang dari bank dengan sistim riba untuk membangun rumah sederhana, karena selama ini ngontrak, dan semakin mahal biaya kontraknya?
Jawab:
Haram hukumnya mengambil hutang di bank dan selainnya dengan riba baik hutang itu untuk keperluan membangun rumah atau untuk kebutuhan konsumtif seperti untuk makan dan
pembelian pakaian atau untuk biaya pengobatan. Demikian juga jika hutang tersebut digunakan untuk perdagangan, pengembangan dan selain itu, berdasarkan keumuman ayat-ayat yangmelarang dari riba dan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan haramnya riba.

4.Apabila seseorang telah berkecimpung dengan riba, lalu dia ingin bertaubat maka bagaimanakah Cara membersihkan uang yang dia dapat dari riba tersebut, apakah bisa disedekahkan?
Jawab:
Hendaknya dia bertaubat kepada Allah, memohon ampunan, menyesali perbuatannya yang telah lalu dan berhenti dari bunga atau riba, dengan cara meginfakkannya kepada para fakir miskin. Namun ini bukan termasuk kategori sedekah yang disunnahkan, tetapi merupakan bentuk untuk berlepas diri (berhenti) dari apa yang diharamkan Allah, untuk membersihkan dirinya dari apa yang telah dia lakukan berupa sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak keringanan dalam meninggalkan yang HARAM. Semua orang islam WAJIB meninggalkan RIBA, dan jika tidak sungguh sangat berbahaya sekali karena dengan memakan RIBA, bisa menjadi sebab tidak dikabulkan doa, amalan shodaqoh, zakat, bahkan Haji dan Umrahnya pun tidak ada artinya.

5.Bagaimana hukumnya dengan Bank Syariah..?
Kita mesti tinjau dengan benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank syari’ah, jangan hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi hasil ataukah memang untung dari utang piutang (alias riba)? Bagaimana mungkin pihak bank syariah bisa “bagi hasil” sedangkan secara hukum perbankan di negeri kita, setiap bank tidak diperkenankan melakukan usaha? Lalu bagaimana bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi hasil yang halal mustahil didapat dari utang piutang.
Ada penjelasan menarik mengenai kritikan terhadap bank syariah oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi
hafizhohullah yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Ilmi. RIBA & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah”. Diantaranya(silahkan dikaji lebih lanjut di bukunya) atau klik link disini

1.Status Perbankan Yang Tidak Jelas.
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim, bahwa mudharabahmerupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Sekilas, hal ini tidak menjadi masalah, padahal masalah ini adalah masalah besar yang perlu ditinjau ulang. Sebab, perbankan dalam hal ini memainkan status ganda yang saling bertentangan.

2.Bank Tidak Memiliki Usaha Riil
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan  dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah [metode ini menjadikan kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba-lomba mendirikan perbankan syariah

3.Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Bila pelaku usaha mengalami kerugian walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi utang piutang yang berbunga alias riba.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian, perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan bahwa, alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha; dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali:

4.Nasabah Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Bila kita berdiri di pintu masuk salah satu bank syariah yang ada di negeri kita, lalu kita bertanya kepada setiap nasabah yang menabungkan atau menginvestasikan dananya, “Apakah sikap bapak/ibu bila pada suatu saat pihak operator bank menyatakan, bahwa usaha yang dikelola bank merugi, sehingga dana bapak/ibu berkurang atau bahkan hangus?” Saya yakin, mayoritas atau bahkan seluruh nasabah dengan berbagai macamnya akan menjawab pertanyaan di atas dengan tegas, “Tidak, dana saya harus aman, minimal, bila tidak ada bagi hasil, maka harus kembali utuh”. kaidah,
كل قرض جر نفعا فهو ربا
Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”
Dari sini sebenarnya hubungan antara bank dengan nasabah bukanlah pelaku usaha dan pemodal yang menjalankan mudharabah, akan tetapi debitur dan kreditur, karena pemilik modal tidak mau rugi dalam usahanya, sesuatu yang mustahil kecuali jika usaha utang-piutang.

5.Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil
Perbankan syariah mencampur adukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga, tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Mungkin menurut perbankan syariah yang ada, hal ini tidak menjadi masalah. Sebab, yang menjadi pertimbangan utama bank dalam membagikan keuntungannya adalah total modal nasabah, bukan keuntungan yang diperoleh dari dana masing-masing nasabah.
Akan tetapi, hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab, yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil

6. Metode Bagi Hasil yang Berbelit-Belit.
Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:
Bagi hasil nasabah= dana/saldo nasabah x  E  x  Rasio/nisbah nasabah
1000                                        100
E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa, salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah.
Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syari sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabah:
Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank.

Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan, yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syariah. Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk memakan lemak. Mengakali pengharaman itu, mereka mencairkan lemak tersebut, lalu menjualnya dan kemudian hasil penjualan itulah yang mereka makan. Menanggapi perilaku keji kaum yahudi ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
قاتل الله اليهود، إن الله حرم عليهم الشحوم، فأجملوه، ثم باعوه، فأكلوا ثمنه. خرجه البخاري ومسلم
Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu’alam

Sumber Bacaan, ” Bahagia Tanpa Riba dan RIBA & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah
PERHATIAN Berhati-hati menjaga harta dan tubuh kita dari RIBA, Walaupun hanya sebutir permen atau seteguk air yang disediakan oleh BANK/Lembaga Keuangan Ribawi, Hakekatnya anda memakan dan minum RIBA ..!!!


0 comments:

Post a Comment